Nama : Ricardo Igronius s
Nim : 01219162
Kelas : Manajemen A
Ujian akhir semester Etika Bisnis
1. Kasus Pelanggaran Etika Bisnis (PADA ALBOTHYL OLEH PERUSAHAAN PT.PHAROS)
Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari 2018 karena terbukti mengandung DNA babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per tanggal 15 Februari setelah ada 38 laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan dalam empat tahun terakhir ini.
Tapi untuk kasus Albothyl kali ini, tentunya dianggap sangat serius karena berkaitan dengan keselamatan pasien. Dalam 38 laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya efek samping Albothyl yang malah memperparah sariawan yang diderita pasien dan menyebabkan infeksi (noma like lession).
Kejadian ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan dari masyarakat dan kalangan profesi kesehatan. Produsen yang dianggap tidak serius dengan keamanan produknya atau regulator yang dianggap tidak cermat dalam mengevaluasi produk sebelum memberikan Nomor Izin Edar.
Perlu diketahui bahwa kualitas dan keamanan setiap produk obat maupun makanan yang beredar di Indonesia dikontrol oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillance. Post-market surveillance ini biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk langsung dari pasaran untuk diuji di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau Idul Fitri) maupun secara mendadak jika diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.
Untuk diketahui, Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang keras memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang diatur sesuai ketentuan peraturan perundangan. Pelanggaran atas ketentuan ini bisa dipidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
2. PT Asuransi Jiwasraya
PT Asuransi Jiwasraya juga dianggap sebagai pelanggaran etika dalam bisnis yang termasuk moralitas berat. Pelanggaran kejujuran dan juga kehati hatian lah yang menjadi sorotan dalam kasus ini. Praktik manajemen yang buruk, membuat keuangan negara merugi hingga Rp 13,7 Triliun. Dan lagi lagi perusahaan asuransi ternama ini adalah milik pemerintah.
Dikategorikan dalam pelanggaran moral karena sudah mengkhianati janji suci antara pengelola saham dengan pembeli. Dari contoh kasus pelanggaran etika bisnis dan analisisnya ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa seharusnya dalam bisnis yang bergerak di bidang saham kualitas moral harus teruji. Selain itu juga kejujuran, transparan dan kehati hatian harus dimiliki.
Kasus korupsi pada PT Jiwasraya akan diterapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jika penyidik menemukan hasil korupsi yang disamarkan. Dalam hal ini, kasus Jiwasraya ditetapkan sebagai kasus korupsi dengan dugaan tindak pidana korupsi dengan ancaman Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Namun sampai saat ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus masih mendalami dan mencari bukti lebih lanjut untuk membongkar dugaan kasus korupsi yang terjadi di PT Jiwasraya.
3. PT Garuda Indonesia
Contoh kasus pelanggaran etika bisnis dan analisisnya yang berikutnya bisa dilihat dari kasus PT Garuda Indonesia yang terjadi pada tahun 2018 silam. Dimana maskapai penerbangan milik BUMN ini telah melanggar kode etik berbisnis, yakni dengan adanya manipulasi pada laporan keuangannya.
4. Kasus PB Djarum dan KPAI
Kasus ini diawali dari laporan Yayasan Lentera Anak kepada KPAI tentang adanya kemungkinan eksploitasi anak pada seleksi PB Djarum. Di mana dalam kegiatan yang diadakan, anak-anak menggunakan kaos yang ada tulisan merek Djarum yang cukup mencolok.
Ketua dari Yayasan Lenteran Anak, Lisda Sundari, menyatakan bahwa hal itu melanggar PP 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa tembakau untuk kesehatan. Kurang lebih ada 3 pasal yang dilanggar PB Djarum. Pertama, semua yang disponsori oleh produk tembakau tak boleh melibatkan anak. Kedua, tak boleh menggunakan citra merek dan logo produk tembakau. Dan yang terakhir, tidak boleh dipublikasikan.
5. Tokopedia
Di penghujung tahun 2020 lalu, nama Tokopedia begitu banyak disebut. Bukan lantaran promo dan berbagai fitur terbarunya, melainkan karena kasus kebocoran data para pengguna. Berita ini tentunya begitu mengejutkan, apalagi Tokopedia sudah masuk dalam jajaran perusahaan startup unicorn. Memang kebocoran data ini bukanlah pertama kalinya terjadi di Indonesia.
Dalam kasusnya, diketahui ada 91 juta data pengguna dan 7 juta data penjual yang bocor. Bahkan semua data ini dijual di arak web dengan harga sekitar $5000. Dengan bocornya data tersebut, pihak Tokopedia meminta penggunanya untuk mengganti password. Jika dilihat dari etika bisnis, kasus ini terbilang rumit.
Bagi pengguna aplikasi, kasus ini termasuk contoh kasus pelanggaran etika bisnis dan analisisnya. Sementara Tokopedia sendiri juga menjadi korban karena sistem keamanan mereka telah dibobol. Sikap pemerintah dalam menanggapi kasus kebocoran data tidak begitu tegas. Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan mengenai hal ini berbentuk Peraturan Menteri (Permen) No 20 Tahun 2016 tentang perlindungan data pribadi, namun untuk kebocoran data berskala besar belum diberikan sanksi tegas untuk e-commerce yang tidak apik dalam menjaga data pengguna. Dalam UU ITE tidak disebutkan dengan jelas sanksi yang diberikan untuk e-commerce yang lalai dalam menjaga kerahasiaan data pengguna. Dengan ketidakjelasan regulasi dari pemerintah ini yang mengakibatkan e-commerce lainnya mungkin saja melakukan tindakan serupa dengan yang Tokopedia lakukan selain itu ketidakjelasan regulasi dari pemerintah menyamarkan pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh Tokopedia.
#BanggaNarotama
#NarotamaJaya
#ThinkSmart
#GenerasiEmas
#SuksesItuAku
#PebisnisMudaNarotama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar